
Jakarta, IndoChannel.id – Tim peneliti dari Satya Bumi dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sulawesi Tenggara (Sultra) pada Senin, 9 September 2024 telah merilis hasil penelitian terbaru mereka terkait dampak pertambangan nikel di Pulau Kabaena.
Dalam riset tersebut, tim peneliti turut mengungkap nama-nama besar yang ikut menikmati manfaat pertambangan nikel di Pulau Kabaena. Mulai dari mantan gubernur, calon kepala daerah, hingga jenderal polisi. Beberapa nama disebut berkaitan erat dengan NA, mantan terpidana korupsi sekaligus Gubernur Sultra periode 2008 – 2018. Penelitian Walhi itu mengelompokkan penerima manfaat menjadi tujuh kluster.

Keterlibatan NA bermula pada tahun 2010. NA yang sedang menjabat sebagai gubernur merevisi aturan tata ruang Sultra. Salah satu perubahan yang diusulkan dalam revisi tersebut adalah menurunkan status kawasan hutan, dari hutan lindung menjadi hutan produksi di Pulau Kabaena. Revisi itu juga dikuatkan dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan Nomor SK.465/Menhut-II/2011.
Salah satu kluster penerima manfaat menurut Walhi adalah klaster AN, ANH dan AS.
Pada klaster ini, nama ANH dan AN yang tak lain adalah istri dan anak Gubernur Sulawesi Tenggara Terpilih Pilgub 2024 AS, ternyata memiliki saham di sejumlah perusahaan bergerak di bidang tambang nikel. Demikian terungkap dari penelusuran Center of Energy and Resources Indonesia (CERI).
“Sesuai dokumen resmi dari Website Resmi Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (AHU), nama ANH ini muncul sebagai pemegang saham mayoritas pada PT TSM, PT KKPdan PT BPB,” ungkap Sekretaris CERI, Hengki Seprihadi, Rabu (15/1/2025).
Dirincikan Hengki, di PT BPB, perempuan kelahiran Sidikalang 3 Agustus 1971 itu menguasai 30 persen saham senilai Rp 18 miliar. Sedangkan di PT KKP, ANH tercatat sebagai pemegang 70 persen saham senilai Rp 1,75 miliar. Selanjutnya, ANH mengantongi 25 persen saham PT TSM senilai Rp 22,5 juta.
“Hasil penelusuran awal kami ini cukup mangagetkan lantaran perusahaan-perusahaan yang dimiliki oleh ANH ini semua bergerak di bidang tambang nikel. Di berbagai media telah diungkap bahwa perusahaan-perusahaan itu beroperasi di Sulawesi Tenggara,” ungkap Hengki.
Hengki mengutarakan, sepak terjang ANH di dunia tambang nikel itu sontak menimbulkan tanda tanya lantaran suami ANH, AS, terpilih sebagai Gubernur Sulawesi Tenggara pada Pilkada Serentak Tahun 2024 lalu.
“Apalagi, karir AS di militer cukup mentereng. Ia tak lain merupakan Kepala Badan Intelijen Daerah (Kabinda) Sulawesi Tenggara periode 2015-2019. Tak lama berselang, AS dipromosikan menjadi Pangdam XIV/Hasanuddin dan menjabat sejak tahun 2020 hingga tahun 2021,” beber Hengki.
Berdasarkan rilis harta kekayaan calon kepala daerah di laman LHKPN KPK, kekayaan AS mencapai Rp632 miliar. Jumlah tersebut menempatkan AS sebagai calon gubernur terkaya se-Indonesia di Pilkada 2024.
Keheranan atas mulusnya sepak terjang ANH itu, lanjut Hengki, makin memuncak setelah sejumlah permasalahan hukum menyeret perusahaan-perusahaan milik ANH. Meski terseret masalah hukum, tampaknya hingga saat ini, ANH masih melenggang bebas sebagai pemilik perusahaan-perusahaan tersebut.
“Sebut saja mulai dari terseretnya PT KKP dalam skandal dokumen terbang alias ‘dokter’ di Kementerian ESDM yang telah menyeret mantan Dirjen Minerba Ridwan Djamaludin ke balik jeruji besi, terkait IUP nikel PT Kabaena seluas 102,6 hektare di Blok Mandiodo, Konawe Utara yang ternyata merupakan wilayah kerja PT Antam Tbk. Arinta Nila Hapsari tampaknya tak tersentuh hukum, meskipun Arinta memiliki saham 70 persen di PT Kabaena Kromit Prathama,” ungkap Hengki.
Tak hanya itu, PT Tribhuwana Sukses Mandiri milik Arinta Nila Hapsari juga terseret dalam kasus dugaan penambangan secara ilegal dan merusak lingkungan PT Tonia Mitra Sejahtera.
“Bahkan berdasarkan fakta persidangan di PN Kendari, menurut Nur Alam, penjualan PT TMS kepada PT TSM berlangsung di kantor Kabinda Sulawesi Tenggara semasa sang suami masih menjabat sebagai Kabinda di sana,” tukas Hengki.
Direktur Utama PT TSM, Arif Kurniawan yang ternyata juga sebagai pemilik PT DDR, membayar pembelian saham PT TMS sebesar Rp 100 miliar ke rekening Amran Yunus yang diangsur sebanyak empat kali.
Namun anehnya, penelusuran CERI di Website Resmi AHU Kemenkum HAM, tidak ditemukan data PT TMS. Padahal, data Perusahaan ini muncul pada Website MODI Kementerian ESDM, yang mencantumkan empat entitas pemegang saham, yakni PT BMS, PT AMI, PT BDT dan PT SKM, dengan kepemilikan masing-masing 25 persen.