Jakarta, IndoChannel.id– Asosiasi Petani Plasma Kelapa Sawit Indonesia (APPKSI) minta pemerintah selain memperhatikan harga, juga bisa perhatian kepada nasib petani sawit.
Ketua Umum APPKSI, Muhammadyah, mendesak dan meminta pemerintah turun tangan agar bisa mengembalikan harga Tandan Buah Segar pada harga kewajaran sesuai harga Crude Palm Oil (CPO) dunia dengan mencabut aturan domestic market obligation (DMO) dan domestic price obligation (DPO).
Upaya itu, kata dia, dilakukan agar ekspor CPO dapat dipermudah untuk mengurangi tumpukan CPO di tangki penimbunan CPO di Pabrik Kelapa Sawit (PKS).
“Jika tidak dilakukan akan terus berdampak buruk pada harga TBS petani plasma sawit yang akhirnya menyebabkan petani kesulitan membayar angsuran pinjaman untuk membangun kebun plasma pada bank dan akan juga menyebabkan petani sulit untuk membeli pupuk,” ujar Muhammadyah, Selasa (28/6/2022) dalam keterangan tertulisnya.
Menurut dia, sejak pemerintah mencabut larangan ekspor minyak sawit mentah (CPO) dan produk turunannya pada 23 Mei lalu, tandan buah segar sawit (TBS) petani menurun drastis.
Di mana untuk periode II – Januari 2022, Muhammadyah melanjutkan, sawit umur 3 tahun Rp 2.471,25/Kg; sawit umur 4 tahun Rp 2.640,54/Kg; sawit umur 5 tahun Rp 2.820,13/Kg; sawit umur 6 tahun Rp 2.908,64/Kg; sawit umur 7 tahun Rp 3.014,68/Kg.
Sawit umur 8 tahun Rp 3.108,54/Kg. Sawit umur 9 tahun Rp 3.160,16/Kg; sawit umur 10-20 tahun Rp 3.304,81/Kg. Lantas sawit umur 21 tahun 3.247,92/Kg.
Sawit umur 22 tahun Rp 3.233,38/Kg; sawit umur 23 tahun Rp 3.156,85/Kg; Sawit umur 24 tahun Rp 3.051,78 /Kg; dan sawit umur 25 tahun Rp 2.953,19/Kg
Dan saat ini harga TBS akibat efek domino pelarangan ekspor CPO dan turunannya pada 28 April-22 Mei 2022 turun ke bawah Rp1.000 per kg. Per 26 Juni 2022, harga TBS di 10 provinsi wilayah anggota SPKS berkisar Rp500-1.070 per kg.
“Petani Sawit merugi sekitar Rp1.500.000 – 2.000.000 per ha per bulan. Sementara untuk kerugian petani sawit swadaya seluruh Indonesia dari bulan April-Juni ini sudah kurang lebih sekitar Rp 50 triliun,” tambah Muhammadyah.
Dia mengungkapkan, penyebab dari jatuhnya harga TBS yang berdampak pada tingkat kesejahteraan petani sawit diakibatkan oleh beberapa kebijakan yang inkonsisten.
Antara lain peraturan tentang DMO dan DPO yang gagal menjadi solusi malah diberlakukan kembali pasca pencabutan pelarangan ekspor oleh pemerintah. Sehingga menyebabkan penumpukan CPO yang jumlahnya jutaan ton di PKS yang belum bisa terjual akibat pemberlakuan kebijakan DMO dan DPO yang justru memepersulit ekspor CPO.
Selain itu, kata dia, penerapan pajak pungutan ekspor CPO yang tinggi pajak dan pungutan ekspor (levy) menyebabkan jatuhnya harga tandan buah segar petani sawit. Di mana total pajak ekspor dan levy yang dibayarkan pelaku usaha sawit mencapai USD 575 per ton CPO yang di ekspor.
“Beban yang besar ini pada akhirnya juga akan ditanggung oleh petani sawit karena harga TBS tidak akan pernah bisa paralel dengan harga CPO di pasar internasional,” jelas dia.
Dalam sejarah, mungkin sawit satu-satunya komoditas yang dipaksa untuk menanggung beban pungutan hingga setengah harga barangnya yang ujung-ujungnya dibebankan ke petani.
Selain harga yang masih rendah, lanjut Muhammadyah, penjualan TBS petani sawit masih susah dan bernilai rendah akibat kebijakan kebijakan DMO dan DPO yang justru membuat ekspor CPO untuk masuk ke pabrik sulit.
Dan harus mengantri 2-3 hari karena beberapa pabrik masih menerapkan pembatasan pembelian TBS untuk petani swadaya. Harga TBS anjlok saat ini yang tinggal Rp 500 – 1.000 per kilogram padahal keran ekspor sudah mulai dibuka.
Muhammadyah melihat penyebabnya adalah Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor 98/PMK.010/2022 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 39/PMK.010/2022 tentang Penetapan Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar.
Dimana dalam aturan itu, Minyak Sawit dalam bentuk CPO yang akan dikirim ke luar negeri dikenakan pajak yang sangat tinggi yakni 32,5 persen hingga 49,9 persen.
Jika dibandingkan dengan negara tetangga yaitu Malaysia, pajak atau pungutan yang diberlakukan disana hanya 6 sampai 8 persen. Itulah kenapa harga TBS kelapa sawit di Malaysia memiliki harga Rp 4.000 s/d 5.000 per kg.
“Kami minta pemerintah sekarang mempercepat ekspor CPO, dipermudah agar harga TBS bisa cepat normal,” ujarnya.
Selain itu, kata dia, perlu semakin dimaksimalkan pengawasan di pabrik-pabrik kelapa sawit yang beralasan tangkinya penuh supaya petani tidak menjadi korban dimana ini merupakan kondisi darurat.
Ia mengungkapkan dalam kondisi alamiah setiap bulan produksi minyak sawit sekitar 4 juta ton, ekspor 3 juta ton. Lalu stok akhir akan sekitar 2-3 juta ton.
“Tapi karena ada DMO dan DPO, apalagi dengan rasio 1:5, dimana DMO 300 ribuan ton, berarti yang bisa diekspor adalah 1,5 jutaan ton. Artinya, ada akumulasi penumpukan di tangki CPO. Karena kondisi penuh, maka PKS mengurangi pembelian TBS, sehingga membuat petani sawit merugi,” pungkas Muhammadyah.