Jakarta, IndoChannel.id – Lebaran Idul Adha akan segera tiba. Idul Adha yang bertepatan pada tanggal 10 Zulhijah tahun Islam ini merupakan salah satu perayaan hari besar umat muslim yang selalu dinantikan, begitu juga di Indonesia.
Idul Adha dirayakan bertepatan dengan “musim haji” setiap tahunnya dan menjadi hari libur nasional di Indonesia.
Secara keagamaan, Idul Adha merupakan perayaan hari besar yang menjadi momen berkumpul bersama dan berbagi terhadap sesama. Di Indonesia, Idul Adha selalu identik dengan hewan sapi dan kambing.
Tak heran jika hari raya Idul Adha tiba, para pedagang hewan kurban seperti kambing dan sapi banyak ditemui dipinggir jalan.
Hewan kurban tersebut akan disembelih sesuai dengan anjuran Allah SWT yang terdapat dalam kisah Nabi Ibrahim as, kemudian daging hewan tersebut dibagikan kepada orang yang dianggap kurang mampu.
Tetapi seiring dengan semakin banyaknya orang yang berkurban, maka tidak hanya orang-orang yg tidak mampu saja yang mendapatkan daging kurban. Karena pada umumnya, daging kurban akan dibagikan secara rata seluruh warga desa.
Indonesia memang dikenal memiliki beragam adat dan budaya. Salah satunya adalah tradisi dalam menyambut perayaan hari besar Idul Adha. Seperti tradisi “Grebeg” yang dapat kita jumpai di daerah Yogyakarta.
Dilansir dari Wikipedia ,Keraton Yogyakarta menyelenggarakan “Grebeg” sebanyak tiga kali dalam setahun. Ketiganya yaitu Grebeg Syawal, Grebeg Maulud, dan Grebeg Besar. Grebeg Syawal dilakukan pada awal bulan Syawal untuk memperingati berakhirnya puasa pada bulan Ramadan. Grebeg Maulud dilaksanakan untuk memperingati Maulid Nabi Muhammad. Grebeg Besar dilaksanakan untuk memperingati bulan Zulhijah.
“Grebeg” sudah menjadi tradisi tahunan secara turun temurun oleh keluarga kerajaan keraton. Tak hanya punggawa kerajaan, acara ini juga bisa diikuti masyarakat umum.
Salah satu ciri khas acara ini adalah adanya prosesi Gunungan, yaitu setumpuk makanan yang disajikan dalam bentuk gunung yang nantinya akan dibagikan kepada masyarakat.
Sebelum dibagikan ke masyarakat, gunungan terlebih dahulu diarak dari Pagelaran Keraton Yogyakarta ke halaman Masjid Gede Kauman yang berjarak kurang lebih 1 kilometer. Dalam acara ini, total ada tujuh gunungan yang diarak.
Setelah melalui prosesi doa, gunungan kemudian dilepas untuk diperebutkan oleh masyarakat. Inilah bagian yang ditunggu-tunggu dimana masyarakat berebut mendapatkan bagian sebanyak mungkin.
“Grebeg” diselenggarkan sebagai bentuk rasa syukur dan sedekah dalam bentuk pertanian. Oleh karena itu pada hakikatnya bukan dilihat dari seberapa banyak bagian gunungan yang berhasil didapat, namun banyak manfaat dan kebahagiaan dari hasil bumi tersebut.
Selain itu, Tradisi “Grebeg” merupakan simbol hajat dalem yang bermakna sebagai bentuk kedermawanan Sultan terhadap rakyatnya. Pada saat tradisi tersebut dilaksanakan, Sultan berkenan memberikan sedekah berupa makanan dari berbagai hasil bumi yang disusun seperti gunung.
Tradisi “Grebeg” telah diadakan selama ratusan tahun. Dalam tradisi ini, Keraton Jogja biasanya mengeluarkan tujuh gunungan dengan rincian lima gunungan untuk ditaruh di Masjid Gede, satu untuk ditaruh di Pura Pakualaman, dan satu lagi ditaruh di Kepatihan.
Menurut Pengageng Kawedanan Pengulon, KRT Akhmad Mukhsin Kamaludin Ningrat, gunungan yang akan dibagikan itu sudah dido’akan sebelumnya, sehingga akan mendatangkan manfaat bagi yang menerimanya.
“Sesuatu yang sudah didoakan itu Insya Allah mempunyai nilai lebih. Tapi kalau makanan sudah dido’akan, Insya Allah manfaatnya jauh lebih besar. Harapan kita memang seperti itu,” jelas KRT Akhmad Mukshin yang dikutip dari Menpan.go.id.