
Bandung, IndoChannel.id – Produksi minyak Indonesia terus menurun, kini hanya di bawah 600.000 barel per hari. Sementara kebutuhan BBM harian mencapai 1,5 juta barel, memaksa Pertamina mengimpor 1 juta barel, yang bisa menekan nilai tukar rupiah dan neraca transaksi berjalan.
Direktur Eksekutif CERI, Yusri Usman mengungkapkan bahwa keadaan ini akan semakin diperburuk dengan mulai beroperasinya RDMP Balikpapan pada pertengahan tahun 2025, yang akan meningkatkan permintaan terhadap minyak mentah. Pemerintah harus mengantisipasi masalah ini sejak dini.

“Selain itu, masalah ini diperburuk dengan kebijakan SKK Migas yang memberikan kuasa jual minyak mentah dan kondensat bagian negara (MMKBN) kepada Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) melalui skema Election Not To Take in Kind, yang tercantum dalam Pedoman Tata Kerja PTK-065 SKKMA0000/2017/SO, yang ditandatangani pada 1 November 2017 oleh Amien Sunaryadi,” ujar Yusri.
Menurut Yusri, PTK-065/2017 memiliki dasar hukum yang lemah, bahkan terkesan tidak sesuai dengan UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas dan Permen ESDM Nomor 17 Tahun 2017. Pasca terbitnya Permen ESDM Nomor 42 Tahun 2018 yang direvisi menjadi Permen ESDM Nomor 18 Tahun 2021, peraturan ini tidak pernah diperbarui, meskipun ada kebutuhan untuk menjaga pasokan kilang Pertamina.
“Berdasarkan temuan kami, PTK-065/2017 berpotensi disalahgunakan untuk kepentingan pihak-pihak tertentu. Bahkan, ada KKKS yang tidak pernah melakukan tender dalam menjual kondensat bagian negara dalam lima tahun terakhir. Hal ini kami laporkan ke KPK dan Kejaksaan Agung sejak Juni 2024,” tambah Yusri.
Lebih lanjut, Yusri menjelaskan bahwa setiap barel produksi minyak mentah dan kondensat yang dikelola oleh KKKS, baik asing, swasta nasional, maupun BUMD, seharusnya memiliki bagian negara yang dikenal dengan istilah Government Oil Intake (GOI). Selain itu, terdapat kewajiban Domestic Market Obligation (DMO) sebesar 25 persen dari total produksi yang harus disalurkan untuk kebutuhan kilang Pertamina.
Namun, penerapan formula harga Indonesian Crude Price (ICP) + Premium yang ditawarkan oleh KKKS menyebabkan harga menjadi tidak ekonomis. Akibatnya, banyak minyak bagian negara dan DMO yang malah diekspor, meskipun pada akhirnya Pertamina Patra Niaga kembali mengimpor BBM. “Fakta ini jelas menunjukkan ketidakefisienan yang merugikan negara,” kata Yusri.
Menurut Yusri, seharusnya pemerintah hadir untuk menekan PT Kilang Pertamina Internasional agar mengurangi impor minyak mentah. Pemerintah juga dapat menetapkan kebijakan harga ICP + flat untuk minyak mentah bagian negara dan DMO, sebagaimana yang dilakukan terhadap harga jual gas HGBT. “Ironisnya, kilang Pertamina belum mendapat HGBT,” ujar Yusri.
“Tidak ada alasan bagi KKKS untuk menjual minyak bagian negara DMO untuk diekspor hanya karena Pertamina menolak harga ICP + Premium,” tegas Yusri.
CERI, lanjut Yusri, akan segera menunjuk tim hukum untuk mempersiapkan gugatan terhadap Pedoman Tata Kerja SKK Migas 065 Tahun 2017, guna mendukung kemandirian energi yang sejalan dengan Asta Cita Presiden Prabowo Subianto.